Konsep Dasar Pendidikan Menurut
Teori Sosial
Teori
belajar social Bandura (1965a, 1965b, 1971, 1977) menguraikan kumpulan ide mengenai
cara perilaku dipelajari dan diubah. Penerapan teori ini hampir pada seluruh
perilaku, dengan perhatian khusus pada cara perilaku baru diperoleh melalui
belajar mengamati (observational learning). Teori ini digunakan dengan mudah
untuk perkembangan agresi, perilaku yang ditentukan, ketekunan, belajar
loncatan ski, dan reaksi psikologis yang datar pada emosi.
Teori
pembelajaran sosial ini adalah perkembangan utama dari tradisi teori
pembelajaran prilaku (Behaviorisme). Berbeda dengan penganut Behaviorisme, Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks
interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan
pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan
sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar sosial ini. Misalnya seorang yang hidup dan lingkungannya
dibesarkan dilingkungan judi, maka dia cenderung menyenangi judi, atau
sekitarnya menganggap bahwa judi itu tidak jelek.
Pendidikan
bagi manusia menjadi penting sebagai upaya untuk melakukan proses yang
terencana dan berkesinambungan sebagai dasar untuk mengembangkan potensi dan
hakikat kemanusiaannya. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan siswa atau
peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan bukan hanya
berlangsung di sekolah. Pendidikan akan dimulai setelah anak lahir dan akan
berlangsung sampai manusia meninggal dunia, sepanjang hidup ia akan mampu
menerima pengaruh-pengaruh yang positif. Oleh karena itu, proses pendidikan
akan berlangsung dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Manusia hidup di dalam
lingkungan tertentu, di dalam lingkungannyalah setiap orang memperoleh berbagai
pengalaman yang turut berpengaruh terhadap perkembangan pribadinya. Dalam arti
luas, semua pengalaman hidup yang berpengaruh positif terhadap
perkembangan pribadi seseorang adalah
pendidikan. Sebab itu, lingkungan dimana seseorang hidup merupakan lingkungan
pendidikan baginya. Terdapat tiga jenis lingkungan pendidikan (Tri Pusat
Pendidikan), yaitu:
1.
Keluarga
Keluarga
merupakan lingkungan pertama dan utama bagi proses perkembangan seorang
individu sekaligus merupakan peletak dasar kepribadian anak. Pendidikan anak
diperoleh terutama melalui interaksi antara orang tua anak. Dalam berinteraksi dengan anaknya,
orang tua akan menunjukkan sikap dan perlakuan tertentu sebagai perwujudan pendidikan terhadap anaknya. Berbagai faktor
yang ada dan terjadi di dalam keluarga akan turut mennetukan kualitas hasil
pendidikan anak. Jenis keluarga, gaya kepemimpinan orang tua, kedudukan anak
dalam urutan keanggotaan keluarga, fasilitas yang ada dalam keluarga, hubungan
keluarga dengan dunia luar, status social ekonomi orang tua, dan sebagainya
akan mempengaruhi situasi pendidikan dalam keluarga, yang pada akhirnya akan
turut pula mempengaruhi pribadi anak.
2.
Sekolah
Pendidikan
di sekolah merupakan kelanjutan dalam keluarga. Sekolah merupakan lembaga
tempat dimana terjadi proses sosialisasi yang kedua setelah keluarga, sehingga
mempengaruhi pribadi anak dan perkembangan sosialnya. Sekolah diselenggarakan
secara formal. Di sekolah anak akan belajar apa yang ada di dalam kehidupan,
dengan kata lain sekolah harus mencerminkan kehidupan sekelilingnya. Oleh
karena itu, sekolah tidak boleh dipisahkan dari kehidupan dan kebutuhan
masyarakat sesuai dengan perkembangan
budayanya. Dalam kehidupan modern seperti saat ini, sekolah merupakan suatu
keharusan, karena tuntutan-tuntutan yang diperlukan bagi perkembangan anak sudah tidak memungkinkan akan dapat dilayani
oleh keluarga. Materi yang diberikan di sekolah berhubungan langsung dengan
pengembangan pribadi anak, berisikan nilai moral dan agama, berhubungan
langsung dengan pengembangan sains dan teknologi, serta pengembangan kecakapan-kecakapan tertentuyang
langsung dapat dirasakan dalam pengisian
tenaga kerja.
3.
Masyarakat
Pendidikan
di masyarakat merupakan bentuk pendidikan yang diselenggarakan di luar keluarga
dan sekolah. Bentuk pendidikan ini menekankan pada pemerolehan pengetahuan dan keterampilan khusus serta
praktis yang secara langsung bermanfaat dalam kehidupan di masyarakat. Phillip
H.Coombs (Uyoh Sadulloh, 1994:65) mengemukakan beberapa bentuk pendidikan di
masyarakat, antara lain : (1) program
persamaan bagi mereka yang tidak pernah bersekolah atau putus sekolah;
(2) program pemberantasan buta huruf;
(3) penitipan bayi dan penitipan anak pra sekolah; (4) kelompok pemuda tani;
(5) perkumpulan olah raga dan rekreasi; dan (6) kursus-kursus keterampilan.
Pada masyarakat tradisional pendidikan cukup dilaksanakan di lingkungan
keluarga dan masyarakat saja. Akan tetapi, dalam masyarakat modern, keluarga
tidak dapat lagi memenuhi semua kebutuhan dan aspirasi pendidikan bagi
anak-anaknya, baik menyangkut pengetahuan, sikap, maupun keterampilan untuk
melaksanakan peranannya di dalam masyarakat. Dengan demikian, sekolah dan
masyarakat berfungsi untuk melengkapi pendidikan yang tidak dapat diberikan
oleh keluarga. Namun demikian, tidak
berarti bahwa keluarga dapat melepaskan tanggung jawab pendidikan bagi
anak-anaknya. Keluarga diharapkan bekerja sama dan mendukung kegiatan
pendidikan di sekolah dan di masyaraka
Adapun prinsip-prinsip yang mendasari teori belajar
sosial yang dikemukakan oleh Bandura, yaitu:
1.
Prinsip
faktor-faktor yang saling menentukan
Bandura
menyatakan bahwa diri seorang manusia pada dasarnya adalah suatu sistem (sistem
diri/self system). Sebagai suatu
sistem bermakna bahwa perilaku, berbagai faktor pada diri seseorang, dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam lingkungan orang tersebut, secara
bersama-sama saling bertindak sebagai penentu atau penyebab yang satu terhadap
yang lainnya.
2.
Kemampuan untuk membuat atau memahami
simbol/tanda/lambang
Bandura
menyatakan bahwa orang memahami dunia secara simbolis melalui gambar-gambar
kognitif, jadi orang lebih bereaksi terhadap gambaran kognitif dari dunia
sekitar dari pada dunia itu sendiri. Artinya, karena orang memiliki kemampuan
berfikir dan memanfaatkan bahasa sebagai alat untuk berfikir, maka hal-hal yang
telah berlalu dapat disimpan dalam ingatan dan hal-hal yang akan datang dapat
pula “diuji” secara simbolis dalam pikiran. Perilaku-perilaku yang mungkin
diperlihatkan akan dapat diduga, diharapkan, dikhawatirkan, dan diuji cobakan terlebih
dahulu secara simbolis, dalam pikiran, tanpa harus mengalaminya secara fisik
terlebih dahulu. Karena pikiran-pikiran yang merupakan simbul atau gambaran
kognitif dari masa lalu maupun masa depan itulah yang mempengaruhi atau
menyebabkan munculnya perilaku tertentu.
3.
Kemampuan
berpikir ke depan
Selain
dapat digunakan untuk mengingat hal-hal yang sudah pernah dialami, kemampuan
berpikir atau mengolah simbol tersebut dapat dimanfaatkan untuk merencanakan
masa depan. Orang dapat menduga bagaimana orang lain bisa bereaksi terhadap
seseorang, dapat menentukan tujuan, dan merencanakan tindakan-tindakan yang
harus diambil untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Inilah yang disebut dengan
pikiran ke depan, karena biasanya pikiran mengawali tindakan.
4.
Kemampuan
untuk seolah-olah mengalami apa yang dialami oleh orang lain
Orang-orang,
terlebih lagi anak-anak mampu belajar dengan cara memperhatikan orang lain
berperilaku dan memperhatikan konsekuensi dari perilaku tersebut. Inilah yang dinamakan
belajar dari apa yang dialami orang lain.
5.
Kemampuan mengatur diri sendiri
Prinsip berikutnya dari belajar sosial adalah orang
umumnya memiliki kemampuan untuk mengendalikan perilaku mereka sendiri.
Seberapa giat orang bekerja dan belajar, berapa jam orang tidur, bagaiamana
bersikap di muka umum, apakah orang mengerjakan pekerjaan kuliah dengan
teratur, dsb, adalah contoh prilaku yang dikendalikan. Perilaku ini tidak
dikerjakan tidak selalu untuk memuaskan orang lain, tetapi berdasarkan standar
dan motivasi yang ditetapkan diri sendiri. Tentu saja orang akan berpengaruh oleh
perilaku orang lain, namun tanggung jawab utama tetap berada pada diri sendiri.
6.
Kemampuan untuk berefleksi
Prinsip terakhir ini menerangkan bahwa kebanyakan orang
sering melakukan refleksi atau perenungan untuk memikirkan kemampuan diri
mereka pribadi. Mereka umumnya mampu memantau ide-ide mereka dan menilai
kepantasan ide-ide tersebut sekaligus menilai diri mereka sendiri. Dari semua
penilaian diri sendiri itu, yang paling penting adalah penilaian terhadap
beberapa komponen atau seberapa mampu mereka mengira diri mereka dapat
mengerjakan suatu tugas dengan sukses.
Dasar-dasar Pengasuhan Anak
Menurut Teori Sosial
Ada dua faktor yang perlu
diperhatikan dalam membimbing anak (Kartono, 1992: 90) yaitu:
1.
Kesadaran Orang
tua harus memiliki kesadaran bahwa jalan pemikiran orang tua dengan
anak-anaknya tidak sejalan sehingga tidak boleh menyamakan. Perlu disadari pula
bahwa masing-masing anak memiliki kecerdasan yang tidak sama meskipun mereka
anak kembar. Dengan mengetahui sifat-sifat dalam diri anak, akan memudahkan
orang tua dalam membimbingnya.
2.
Bijaksana Orang
tua harus memiliki kesadaran bahwa jalan pemikiran orang tua dengan
anak-anaknya tidak sejalan sehingga tidak boleh menyamakan. Perlu disadari pula
bahwa masing-masing anak memiliki kecerdasan yang tidak sama meskipun mereka
anak kembar. Dengan mengetahui sifat-sifat dalam diri anak, akan memudahkan
orang tua dalam membimbingnya. Sikap bijaksana diperlukan untuk mengerti
kemampuan anak, kekurang tahuan terhadap kemampuan anak terkadang menumbuhkan
sikap kasar terhadap anak. Sikap kasar akan bertambah persoalannya bahkan
bimbingan yang diberikan terhadapnya justru menjadi tekanan jiwa dalam dirinya.
Maka pola asuh adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat
relative konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh
anak, dari segi negative maupun positif.
Sedangkan macam-macam
Pola Asuh Menurut Nisak (2013:14–23) menjelaskan bahwa dalam mengasuh dan
membina anak, masyarakat kita mengenal tiga model pola asuh, yaitu :
1.
Pola Asuh Otoriter
Dalam pola asuh yang otoriter biasanya pihak orang tua yang menggariskan
keputusan-keputusan tentang perilaku anak-anaknya. Di dalam aktivitas
sehari-hari orangtua mempunyai peraturan yang bersifat wajib untuk dilakukan
seorang anak dan sebagai rutinitas bagi si anak. Misalnya, orang tua menyuruh
anak untuk bangun pagi setiap hari tidak boleh bangun siang. Orangtua menyuruh
sholat tepat waktu dan tidak boleh diundur. Pola asuh ini bercirikan dengan
adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua. Kebebasan anak dibatasi oleh
orang tua, sehingga aturan yang ada dalam pergaulan keluarga terasa kaku sebab
orang tua selalu memaksakan untuk berperilaku sesuai dengan keinginan orang
tua. Bila aturan-aturan yang berlaku dilanggar, orang tua akan memberi hukuman
kepada anaknya, namun jika akan mematuhinya orang tua tidak memberikan hadiah
atau pujian karena apa yang dilakukan anak sudah sepantasnya dilakukan. Dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa pola asuh otoriter adalah orang tua sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi dalam keluarga untuk mengekang dan mengendalikan
anak. Kebebasan anak dibatasi oleh orang tua, sehingga aturan yang ada dalam
pergaulan keluarga terasa kaku. Bila aturan-aturan yang berlaku dilanggar,
orang tua tidak segan-segan akan memberi hukuman kepada anaknya. Cara
memperlakukan anak pada pola asuh otoriter adalah orang tua memaksakan anak
untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya. Pada pola asuh ini, orang tua
membatasi kebebasan anak dalam berperilaku. Perlakuan dalam memberikan aturan
pada pola asuh ini adalah orang tua memberikan aturan yang bersifat wajib untuk
dilakukan seorang anak di dalam aktivitasnya. sehari-hari, sehingga aturan yang
ada terasa kaku. Apabila anak melanggar aturan yang berlaku, orang tua tidak
segan-segan memberikan hukuman kepada anaknya.
2.
Pola Asuh Permisif
Dalam pola asuh permisif atau juga dikenal dengan pola asuh liberal, keluarga
memberikan kebebasan pada anak, kebebasan diberikan dari orang tua kepada
anaknya untuk berperilaku sesuai dengan keinginan anak. Orang tua kurang peduli
dan tidak pernah memberi aturan yang jelas dan pengarahan pada anak. Segala
keinginan anak keputusannya diserahkan sepenuhnya pada anak, orang tua tidak
memberikan pertimbangan bahkan tidak tahu atau sikap orang tua yang masa bodoh,
anak kurang tahu apakah tindakan yang ia kerjakan salah atau benar (Yatim,
1986:96). Dari uraian yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa pola
asuh permisif adalah orang tua yang memberikan kebebasan pada anak untuk
berbuat sekehendak hatinya. Keputusan diserahkan sepenuhnya pada anak dan orang
tua tidak memberikan pertimbangan apakah tindakan yang ia kerjakan benar atau
salah. Cara memperlakukan anak pada pola asuh permisif adalah orang tua kurang
peduli terhadap perilaku anak dan tidak memberikan pertimbangan atau pengarahan
terhadap tindakan yang dilakukan oleh anaknya. Pada pola asuh ini, orang tua
memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berperilaku sesuai dengan
keinginannya . Perlakuan dalam memberikan aturan pada pola asuh ini adalah
orang tua tidak memberikan aturan yang jelas dan pengarahan pada anak. Apabila
anak melanggar aturan yang berlaku, orang tua tidak peduli dan masa bodoh
dengan anaknya.
3.
Pola Asuh
Demokratis Pola asuh demokratis mendorong anak sebagai individu yang selalu
berkembang, sehingga memiliki ciri adanya sikap saling terbuka antar anak
dengan orang tua. Dalam setiap pengambilan keputusan atau aturan- aturan yang
dipakai atas kesepakatan bersama. Orang tua memberi kesempatan pada anak untuk
menyampaikan pendapat, gagasan maupun keinginannya dan belajar untuk dapat
menghargai dan menanggapi orang lain. Orang tua bersikap hanya sebagai pemberi
pendapat dan pertimbangan terhadap aktivitas anak ( Yatim, 1986:98 ). Orang tua
yang demokratis besar pengertiannya terhadap anak dan memberikan kebebasan
kepada anak untuk menyatakan pendapatnya. Bagi orang tua demokratis anak
mempunyai kedudukan yang sama dalam keluarga. Orang tua yang demokratis selalu
memperhatikan perkembangan anak, dan tidak harus sekedar mampu dalam memberi
saran-saran atau nasehat saja, tetapi juga mau mendengarkan keluhan anak
sehubungan dengan persoalan yang anak hadapi. Tim Penggerak PKK Pusat (1992:10)
menjelaskan, pelaksanaan pola asuh demokratis atau yang dikenal dengan pola
asuh pendekatan perilaku, tidak menang dan tidak kalah adalah orang tua yang
bersikap keras, jelas dan konsekuen, tidak memaksakan kehendak, menghargai dan
menghormati, membiasakan minta maaf kepada anak jika akan, sedang dan sesudah
menyinggung perasaan orang lain, kalau anak menyimpang dari aturan, adat, hukum
dan agama, menasehati tanpa merendahkan martabat anak, tidak menyalahkan atau
membenarkan apabila salah satunya berkelahi, menghindari, mengalahkan atau
memenangkan anak. Akibat dari pola asuh ini adalah menyebabkan anak menjadi
mandiri, mempunyai tanggung jawab, mempunyai inisiatif dan kreatif, sopan
santun dan dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Dengan demikian pola asuh
demokratis adalah orang tua memposisikan anak dalam posisi yang sama dengan
orang tua artinya memiliki hak dan kewajiban yang sama, orang tua tidak harus
menang dan tidak harus kalah artinya orang tua bersikap keras, jelas dan
konsekuen tetapi tidak memaksakan kehendak. Orang tua memberi kesempatan pada
anak untuk menyampaikan pendapat, gagasan maupun keinginannya dan belajar untuk
dapat menghargai dan menanggapi orang lain. Orang tua bersikap hanya sebagai
pemberi pendapat dan pertimbangan
terhadap aktivitas anak. Anak akan semakin termotivasi dalam melakukan kegiatan
karena adanya kepercayaan diri yang diberikan oleh orang tua, sehingga semakin
bertanggung jawab
Implementasi Dalam Dunia
Pendidikan
Terdapat banyak implikasi teori belajar
sosial yang dikemukakan oleh Bandura untuk pembelajaran di kelas, antara lain
sebagai berikut.
- Peserta
didiksering belajar hanya dengan mengamati tingkah laku oran lain, yaitu
guru.
- Menggambarkan
konsekuensi perilaku yang secara efektif dapat meningkatkan perilaku yang
sesuai dengan yang diharapkan dan menurunkan perilaku yang tidak pantas.
- Peniruan
(modeling) menyediakan alternatif untuk membentuk perilaku baru
untuk belajar. Di dalam mempromosikan model yang efektif, seorang guru
harus memastikan bahwa empat kondisi esensial harus ada, yaitu perhatian,
retensi, motor reproduksi, dan motivasi.
- Guru
dan orangtua harus menjadi mode perilaku yang sesuai dan berhati-hati agar
peserta didik tidak meniru perilaku yang tidak pantas.
- Peserta
didik harus percaya bahwa mereka mampu menyelesaikan tugas-tugas sekolah,
sehingga guru dapat meningkatkan rasa percaya diri peserta didik dengan
memperlihatkan pengalaman orang lain yang sudah sukses atau menceritakan
pengalaman kesuksesan guru itu sendiri.
- Guru
harus membantu peserta didik dalam menetapkan harapan yang realistis untuk
prestasi akademiknya. Guru juga harus memastikan bahwa target prestasi
peserta didik tidak lebih rendah dari potensi peserta didik yang
bersaungkutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar