Sabtu, 28 November 2020

Teori Belajar Sosial (Filsafat Pendidikan)

 

Konsep Dasar Pendidikan Menurut Teori Sosial

Teori belajar social Bandura (1965a, 1965b, 1971, 1977) menguraikan kumpulan ide mengenai cara perilaku dipelajari dan diubah. Penerapan teori ini hampir pada seluruh perilaku, dengan perhatian khusus pada cara perilaku baru diperoleh melalui belajar mengamati (observational learning). Teori ini digunakan dengan mudah untuk perkembangan agresi, perilaku yang ditentukan, ketekunan, belajar loncatan ski, dan reaksi psikologis yang datar pada emosi.

Teori pembelajaran sosial ini adalah perkembangan utama dari tradisi teori pembelajaran prilaku (Behaviorisme). Berbeda dengan penganut Behaviorisme, Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan.  Kondisi lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar sosial ini.  Misalnya seorang yang hidup dan lingkungannya dibesarkan dilingkungan judi, maka dia cenderung menyenangi judi, atau sekitarnya menganggap bahwa judi itu tidak jelek.

Pendidikan bagi manusia menjadi penting sebagai upaya untuk melakukan proses yang terencana dan berkesinambungan sebagai dasar untuk mengembangkan potensi dan hakikat kemanusiaannya. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan  pemberdayaan siswa atau peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan bukan hanya berlangsung di sekolah. Pendidikan akan dimulai setelah anak lahir dan akan berlangsung sampai manusia meninggal dunia, sepanjang hidup ia akan mampu menerima pengaruh-pengaruh yang positif. Oleh karena itu, proses pendidikan akan berlangsung dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Manusia hidup di dalam lingkungan tertentu, di dalam lingkungannyalah setiap orang memperoleh berbagai pengalaman yang turut berpengaruh terhadap perkembangan pribadinya. Dalam arti luas, semua pengalaman hidup yang berpengaruh positif terhadap perkembangan  pribadi seseorang adalah pendidikan. Sebab itu, lingkungan dimana seseorang hidup merupakan lingkungan pendidikan baginya. Terdapat tiga jenis lingkungan pendidikan (Tri Pusat Pendidikan), yaitu:

1.      Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi proses perkembangan seorang individu sekaligus merupakan peletak dasar kepribadian anak. Pendidikan anak diperoleh terutama melalui interaksi antara orang tua anak. Dalam berinteraksi dengan anaknya, orang tua akan menunjukkan sikap dan perlakuan tertentu sebagai perwujudan  pendidikan terhadap anaknya. Berbagai faktor yang ada dan terjadi di dalam keluarga akan turut mennetukan kualitas hasil pendidikan anak. Jenis keluarga, gaya kepemimpinan orang tua, kedudukan anak dalam urutan keanggotaan keluarga, fasilitas yang ada dalam keluarga, hubungan keluarga dengan dunia luar, status social ekonomi orang tua, dan sebagainya akan mempengaruhi situasi pendidikan dalam keluarga, yang pada akhirnya akan turut  pula mempengaruhi pribadi anak.

2.      Sekolah

Pendidikan di sekolah merupakan kelanjutan dalam keluarga. Sekolah merupakan lembaga tempat dimana terjadi proses sosialisasi yang kedua setelah keluarga, sehingga mempengaruhi pribadi anak dan perkembangan sosialnya. Sekolah diselenggarakan secara formal. Di sekolah anak akan belajar apa yang ada di dalam kehidupan, dengan kata lain sekolah harus mencerminkan kehidupan sekelilingnya. Oleh karena itu, sekolah tidak boleh dipisahkan dari kehidupan dan kebutuhan masyarakat sesuai dengan  perkembangan budayanya. Dalam kehidupan modern seperti saat ini, sekolah merupakan suatu keharusan, karena tuntutan-tuntutan yang diperlukan bagi perkembangan anak sudah tidak memungkinkan akan dapat dilayani oleh keluarga. Materi yang diberikan di sekolah berhubungan langsung dengan pengembangan pribadi anak, berisikan nilai moral dan agama, berhubungan langsung dengan pengembangan sains dan teknologi, serta  pengembangan kecakapan-kecakapan tertentuyang langsung dapat dirasakan dalam  pengisian tenaga kerja.

3.      Masyarakat

Pendidikan di masyarakat merupakan bentuk pendidikan yang diselenggarakan di luar keluarga dan sekolah. Bentuk pendidikan ini menekankan pada pemerolehan  pengetahuan dan keterampilan khusus serta praktis yang secara langsung bermanfaat dalam kehidupan di masyarakat. Phillip H.Coombs (Uyoh Sadulloh, 1994:65) mengemukakan beberapa bentuk pendidikan di masyarakat, antara lain : (1) program  persamaan bagi mereka yang tidak pernah bersekolah atau putus sekolah; (2) program  pemberantasan buta huruf; (3) penitipan bayi dan penitipan anak pra sekolah; (4) kelompok pemuda tani; (5) perkumpulan olah raga dan rekreasi; dan (6) kursus-kursus keterampilan. Pada masyarakat tradisional pendidikan cukup dilaksanakan di lingkungan keluarga dan masyarakat saja. Akan tetapi, dalam masyarakat modern, keluarga tidak dapat lagi memenuhi semua kebutuhan dan aspirasi pendidikan bagi anak-anaknya, baik menyangkut pengetahuan, sikap, maupun keterampilan untuk melaksanakan peranannya di dalam masyarakat. Dengan demikian, sekolah dan masyarakat berfungsi untuk melengkapi pendidikan yang tidak dapat diberikan oleh keluarga. Namun demikian, tidak  berarti bahwa keluarga dapat melepaskan tanggung jawab pendidikan bagi anak-anaknya. Keluarga diharapkan bekerja sama dan mendukung kegiatan pendidikan di sekolah dan di masyaraka

Adapun prinsip-prinsip yang mendasari teori belajar sosial yang dikemukakan oleh Bandura, yaitu:

1.      Prinsip faktor-faktor yang saling menentukan

Bandura menyatakan bahwa diri seorang manusia pada dasarnya adalah suatu sistem (sistem diri/self system). Sebagai suatu sistem bermakna bahwa perilaku, berbagai faktor pada diri seseorang, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam lingkungan orang tersebut, secara bersama-sama saling bertindak sebagai penentu atau penyebab yang satu terhadap yang lainnya.

2.       Kemampuan untuk membuat atau memahami simbol/tanda/lambang

Bandura menyatakan bahwa orang memahami dunia secara simbolis melalui gambar-gambar kognitif, jadi orang lebih bereaksi terhadap gambaran kognitif dari dunia sekitar dari pada dunia itu sendiri. Artinya, karena orang memiliki kemampuan berfikir dan memanfaatkan bahasa sebagai alat untuk berfikir, maka hal-hal yang telah berlalu dapat disimpan dalam ingatan dan hal-hal yang akan datang dapat pula “diuji” secara simbolis dalam pikiran. Perilaku-perilaku yang mungkin diperlihatkan akan dapat diduga, diharapkan, dikhawatirkan, dan diuji cobakan terlebih dahulu secara simbolis, dalam pikiran, tanpa harus mengalaminya secara fisik terlebih dahulu. Karena pikiran-pikiran yang merupakan simbul atau gambaran kognitif dari masa lalu maupun masa depan itulah yang mempengaruhi atau menyebabkan munculnya perilaku tertentu.

3.      Kemampuan berpikir ke depan

Selain dapat digunakan untuk mengingat hal-hal yang sudah pernah dialami, kemampuan berpikir atau mengolah simbol tersebut dapat dimanfaatkan untuk merencanakan masa depan. Orang dapat menduga bagaimana orang lain bisa bereaksi terhadap seseorang, dapat menentukan tujuan, dan merencanakan tindakan-tindakan yang harus diambil untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Inilah yang disebut dengan pikiran ke depan, karena biasanya pikiran mengawali tindakan.

4.      Kemampuan untuk seolah-olah mengalami apa yang dialami oleh orang lain

Orang-orang, terlebih lagi anak-anak mampu belajar dengan cara memperhatikan orang lain berperilaku dan memperhatikan konsekuensi dari perilaku tersebut. Inilah yang dinamakan belajar dari apa yang dialami orang lain.

5.      Kemampuan mengatur diri sendiri

Prinsip berikutnya dari belajar sosial adalah orang umumnya memiliki kemampuan untuk mengendalikan perilaku mereka sendiri. Seberapa giat orang bekerja dan belajar, berapa jam orang tidur, bagaiamana bersikap di muka umum, apakah orang mengerjakan pekerjaan kuliah dengan teratur, dsb, adalah contoh prilaku yang dikendalikan. Perilaku ini tidak dikerjakan tidak selalu untuk memuaskan orang lain, tetapi berdasarkan standar dan motivasi yang ditetapkan diri sendiri. Tentu saja orang akan berpengaruh oleh perilaku orang lain, namun tanggung jawab utama tetap berada pada diri sendiri.

6.      Kemampuan untuk berefleksi

Prinsip terakhir ini menerangkan bahwa kebanyakan orang sering melakukan refleksi atau perenungan untuk memikirkan kemampuan diri mereka pribadi. Mereka umumnya mampu memantau ide-ide mereka dan menilai kepantasan ide-ide tersebut sekaligus menilai diri mereka sendiri. Dari semua penilaian diri sendiri itu, yang paling penting adalah penilaian terhadap beberapa komponen atau seberapa mampu mereka mengira diri mereka dapat mengerjakan suatu tugas dengan sukses.

 

Dasar-dasar Pengasuhan Anak Menurut Teori Sosial

Ada dua faktor yang perlu diperhatikan dalam membimbing anak (Kartono, 1992: 90) yaitu:

1.      Kesadaran Orang tua harus memiliki kesadaran bahwa jalan pemikiran orang tua dengan anak-anaknya tidak sejalan sehingga tidak boleh menyamakan. Perlu disadari pula bahwa masing-masing anak memiliki kecerdasan yang tidak sama meskipun mereka anak kembar. Dengan mengetahui sifat-sifat dalam diri anak, akan memudahkan orang tua dalam membimbingnya.

2.      Bijaksana Orang tua harus memiliki kesadaran bahwa jalan pemikiran orang tua dengan anak-anaknya tidak sejalan sehingga tidak boleh menyamakan. Perlu disadari pula bahwa masing-masing anak memiliki kecerdasan yang tidak sama meskipun mereka anak kembar. Dengan mengetahui sifat-sifat dalam diri anak, akan memudahkan orang tua dalam membimbingnya. Sikap bijaksana diperlukan untuk mengerti kemampuan anak, kekurang tahuan terhadap kemampuan anak terkadang menumbuhkan sikap kasar terhadap anak. Sikap kasar akan bertambah persoalannya bahkan bimbingan yang diberikan terhadapnya justru menjadi tekanan jiwa dalam dirinya. Maka pola asuh adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relative konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negative maupun positif.

Sedangkan macam-macam Pola Asuh Menurut Nisak (2013:14–23) menjelaskan bahwa dalam mengasuh dan membina anak, masyarakat kita mengenal tiga model pola asuh, yaitu :

1.      Pola Asuh Otoriter Dalam pola asuh yang otoriter biasanya pihak orang tua yang menggariskan keputusan-keputusan tentang perilaku anak-anaknya. Di dalam aktivitas sehari-hari orangtua mempunyai peraturan yang bersifat wajib untuk dilakukan seorang anak dan sebagai rutinitas bagi si anak. Misalnya, orang tua menyuruh anak untuk bangun pagi setiap hari tidak boleh bangun siang. Orangtua menyuruh sholat tepat waktu dan tidak boleh diundur. Pola asuh ini bercirikan dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua. Kebebasan anak dibatasi oleh orang tua, sehingga aturan yang ada dalam pergaulan keluarga terasa kaku sebab orang tua selalu memaksakan untuk berperilaku sesuai dengan keinginan orang tua. Bila aturan-aturan yang berlaku dilanggar, orang tua akan memberi hukuman kepada anaknya, namun jika akan mematuhinya orang tua tidak memberikan hadiah atau pujian karena apa yang dilakukan anak sudah sepantasnya dilakukan. Dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pola asuh otoriter adalah orang tua sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam keluarga untuk mengekang dan mengendalikan anak. Kebebasan anak dibatasi oleh orang tua, sehingga aturan yang ada dalam pergaulan keluarga terasa kaku. Bila aturan-aturan yang berlaku dilanggar, orang tua tidak segan-segan akan memberi hukuman kepada anaknya. Cara memperlakukan anak pada pola asuh otoriter adalah orang tua memaksakan anak untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya. Pada pola asuh ini, orang tua membatasi kebebasan anak dalam berperilaku. Perlakuan dalam memberikan aturan pada pola asuh ini adalah orang tua memberikan aturan yang bersifat wajib untuk dilakukan seorang anak di dalam aktivitasnya. sehari-hari, sehingga aturan yang ada terasa kaku. Apabila anak melanggar aturan yang berlaku, orang tua tidak segan-segan memberikan hukuman kepada anaknya.

2.      Pola Asuh Permisif Dalam pola asuh permisif atau juga dikenal dengan pola asuh liberal, keluarga memberikan kebebasan pada anak, kebebasan diberikan dari orang tua kepada anaknya untuk berperilaku sesuai dengan keinginan anak. Orang tua kurang peduli dan tidak pernah memberi aturan yang jelas dan pengarahan pada anak. Segala keinginan anak keputusannya diserahkan sepenuhnya pada anak, orang tua tidak memberikan pertimbangan bahkan tidak tahu atau sikap orang tua yang masa bodoh, anak kurang tahu apakah tindakan yang ia kerjakan salah atau benar (Yatim, 1986:96). Dari uraian yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa pola asuh permisif adalah orang tua yang memberikan kebebasan pada anak untuk berbuat sekehendak hatinya. Keputusan diserahkan sepenuhnya pada anak dan orang tua tidak memberikan pertimbangan apakah tindakan yang ia kerjakan benar atau salah. Cara memperlakukan anak pada pola asuh permisif adalah orang tua kurang peduli terhadap perilaku anak dan tidak memberikan pertimbangan atau pengarahan terhadap tindakan yang dilakukan oleh anaknya. Pada pola asuh ini, orang tua memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya . Perlakuan dalam memberikan aturan pada pola asuh ini adalah orang tua tidak memberikan aturan yang jelas dan pengarahan pada anak. Apabila anak melanggar aturan yang berlaku, orang tua tidak peduli dan masa bodoh dengan anaknya.

3.      Pola Asuh Demokratis Pola asuh demokratis mendorong anak sebagai individu yang selalu berkembang, sehingga memiliki ciri adanya sikap saling terbuka antar anak dengan orang tua. Dalam setiap pengambilan keputusan atau aturan- aturan yang dipakai atas kesepakatan bersama. Orang tua memberi kesempatan pada anak untuk menyampaikan pendapat, gagasan maupun keinginannya dan belajar untuk dapat menghargai dan menanggapi orang lain. Orang tua bersikap hanya sebagai pemberi pendapat dan pertimbangan terhadap aktivitas anak ( Yatim, 1986:98 ). Orang tua yang demokratis besar pengertiannya terhadap anak dan memberikan kebebasan kepada anak untuk menyatakan pendapatnya. Bagi orang tua demokratis anak mempunyai kedudukan yang sama dalam keluarga. Orang tua yang demokratis selalu memperhatikan perkembangan anak, dan tidak harus sekedar mampu dalam memberi saran-saran atau nasehat saja, tetapi juga mau mendengarkan keluhan anak sehubungan dengan persoalan yang anak hadapi. Tim Penggerak PKK Pusat (1992:10) menjelaskan, pelaksanaan pola asuh demokratis atau yang dikenal dengan pola asuh pendekatan perilaku, tidak menang dan tidak kalah adalah orang tua yang bersikap keras, jelas dan konsekuen, tidak memaksakan kehendak, menghargai dan menghormati, membiasakan minta maaf kepada anak jika akan, sedang dan sesudah menyinggung perasaan orang lain, kalau anak menyimpang dari aturan, adat, hukum dan agama, menasehati tanpa merendahkan martabat anak, tidak menyalahkan atau membenarkan apabila salah satunya berkelahi, menghindari, mengalahkan atau memenangkan anak. Akibat dari pola asuh ini adalah menyebabkan anak menjadi mandiri, mempunyai tanggung jawab, mempunyai inisiatif dan kreatif, sopan santun dan dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Dengan demikian pola asuh demokratis adalah orang tua memposisikan anak dalam posisi yang sama dengan orang tua artinya memiliki hak dan kewajiban yang sama, orang tua tidak harus menang dan tidak harus kalah artinya orang tua bersikap keras, jelas dan konsekuen tetapi tidak memaksakan kehendak. Orang tua memberi kesempatan pada anak untuk menyampaikan pendapat, gagasan maupun keinginannya dan belajar untuk dapat menghargai dan menanggapi orang lain. Orang tua bersikap hanya sebagai pemberi pendapat dan  pertimbangan terhadap aktivitas anak. Anak akan semakin termotivasi dalam melakukan kegiatan karena adanya kepercayaan diri yang diberikan oleh orang tua, sehingga semakin bertanggung jawab

 

Implementasi Dalam Dunia Pendidikan

Terdapat banyak implikasi teori belajar sosial yang dikemukakan oleh Bandura untuk pembelajaran di kelas, antara lain sebagai berikut.

  1. Peserta didiksering belajar hanya dengan mengamati tingkah laku oran lain, yaitu guru.
  2. Menggambarkan konsekuensi perilaku yang secara efektif dapat meningkatkan perilaku yang sesuai dengan yang diharapkan dan menurunkan perilaku yang tidak pantas.
  3. Peniruan (modeling) menyediakan alternatif untuk membentuk perilaku baru untuk belajar. Di dalam mempromosikan model yang efektif, seorang guru harus memastikan bahwa empat kondisi esensial harus ada, yaitu perhatian, retensi, motor reproduksi, dan motivasi.
  4. Guru dan orangtua harus menjadi mode perilaku yang sesuai dan berhati-hati agar peserta didik tidak meniru perilaku yang tidak pantas.
  5. Peserta didik harus percaya bahwa mereka mampu menyelesaikan tugas-tugas sekolah, sehingga guru dapat meningkatkan rasa percaya diri peserta didik dengan memperlihatkan pengalaman orang lain yang sudah sukses atau menceritakan pengalaman kesuksesan guru itu sendiri.
  6. Guru harus membantu peserta didik dalam menetapkan harapan yang realistis untuk prestasi akademiknya. Guru juga harus memastikan bahwa target prestasi peserta didik tidak lebih rendah dari potensi peserta didik yang bersaungkutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar